Senin, 13 Februari 2012


Both Maternal and Paternal Age Linked to Autism

ScienceDaily (Feb. 10, 2012) — Older maternal and paternal age are jointly associated with having a child with autism, according to a recently published study led by researchers at The University of Texas Health Science Center at Houston (UTHealth).
The researchers compared 68 age- and sex-matched, case-control pairs from their research in Jamaica, where UTHealth has been studying autism in collaboration with The University of the West Indies, Mona Campus, Kingston, Jamaica.
"This should put to rest discrepancies in previous studies showing that just maternal age or just paternal age are linked to having a child with autism," said Mohammad Hossein Rahbar, Ph.D., principal investigator and professor of epidemiology and biostatistics at The University of Texas School of Public Health, part of UTHealth.
"Our results revealed that the age of the father and the mother are jointly associated with autism in their children," said Rahbar, who is also director of the Biostatistics, Epidemiology and Research Design (BERD) component of the Center for Clinical and Translational Sciences (CCTS) at UTHealth.
In the study, researchers found that mothers who had children with autism were on average 6.5 years older than women who did not have a child with autism. The corresponding age difference for fathers was 5.9 years.
In previous studies, Rahbar said that because of the statistical models used, it was hard to assess both maternal and fraternal age as joint risk factors, a problem called multicollinearity. He was able to use more complex statistical models to avoid the problem.
Autism Spectrum Disorders (ASDs) are complex, neurodevelopmental and behavioral disorders characterized by impairments in social interaction and communication and repetitive, sometimes obsessive, behaviors. According to the Centers for Disease Control and Prevention (CDC), a conservative estimate is that one in every 100 children has an ASD.
The research was published this month in the Journal of Autism and Developmental Disorders. Data for the study was collected at the UWI and utilized an existing database established by co-author Maureen Samms-Vaughan, M.D., Ph.D., professor of child health at UWI and principal investigator of the UWI subcontract. Funding for the research is provided by the Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) and the National Institutes of Health Fogarty International Center (NIH/FIC). Additional support came from the CCTS, which is mostly funded by the NIH National Center for Research Resource (NCRR) Centers for Clinical and Translational Sciences.
Co-authors from UTHealth are Katherine A. Loveland, Ph.D.; Eric Boerwinkle, Ph.D.; Deborah A. Pearson, PhD.; Jan Bressler, Ph.D.; Megan L. Grove-Gaona; Zhongxue Chen; Manouchehr Ardjomand-Hessabi; and Kari Bloom. Co-authors from UWI are Sydonnie Shakespeare-Pellington and Compton Beecher.

Selasa, 07 Februari 2012

sokletasi


Sokletasi adalah suatu metode pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam sampel padat dengan cara penyarian berulang – ulang dengan pelarut yang sama, sehingga semua komponen yang diinginkan dalam sampel terisolasi dengan sempurna. Pelarut yang digunakan ada 2 jenis, yaitu heksana ( C6H14  ) untuk sampel kering dan metanol (CH3OH ) untuk sampel basah. Jadi, pelarut yang dugunakan tergantung dari sampel alam yang digunakan. Nama lain yang digunakan sebagai pengganti sokletasi adalah pengekstrakan berulang – ulang ( continous extraction ) dari sampel pelarut
              Prinsip sokletasi adalah pelarut dan sampel dipisahkan ditempat yang berbeda. Sampel adalah bahan alam yang belum mengalami proses apapun juga. Metode sokletasi yang dilakukan memiliki kelebihan dan kekurang. Berikut adalah kelebihan metode sokletasi:
·         Sampel terekstraksi dengan sempurna
·         Proses ekstraksi lebih cepat
·         Pelarut yang digunakan sedikit.
               Sedangkan kelemahan dari metode sokletasi adalah sampel sampel yang digunakan harus sampel yang digunakan harus sampel yang tahan panas atau tidak dapat digunakan pada sampel yang tidak tahan panas. Karena sampel yang tidak tahan panas akan teroksidasi atau tereduksi ketika proses sokletasi berlangsung.
         Syarat – syarat suatu larutan dapat digunakan sebagai pelarut dalam proses sokletasi adalah:
·         Pelarut yang digunakan tersebut memiliki  titik didih berbeda dengan bahan sampel yaitu lebih kecil dari titik didih sampel.
·         Mudah menguap
·         Pelarut tersebut harus dipisahkan dengan cepat setelah penyarian.
·         Pelarut harus merupakan pelarut yang sesuai untuk bahan yang akan disokletasi.
             Untuk mengetahui bahan yang terkandung dalam senyawa, setelah penyarian perlu dilarutkan larutan tertentu untuk mengidentifikasikan seperti : meyer, dan wagner. Tanda – tanda dari penghentian proses sokletasi adalah :
·         Bila pelarut yang digunakan adalah pelarut berwarna dan masih terdapat warna berarti masih yerdapat sampel.
·         Bagi senyawa yang tidak berwarna, maka teteskan pelarut diatas kaca arloji, lalu biarkan menguap. Jika terdapat bahan kristal pada kaca arloji berarti masih terdapat senyawa pada pelarut. [ 3 ]
·         Melakukan uji dengan pereaksi Reagen Dragend.
                 Adapun prinsip sokletasi itu adalah penyarian berulang – ulang sehingga hasil yang didapatkan sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Bila penyaringan ini telah selesai, maka  pelarutnya diuapkan kembali dan sisanya adalah zat yang tersaring. Metode sokletasi merupakan penggabungan antara metode maserasi dan perlokasi. Jika pada metode pemisahan minyak atsiri ( distilasi uap ), tidak dapat digunakan dengan baik karena persentase senyawa yang akan digunakan atau yang akan diisolasi cukup kecil, atau tidak didapatkan pelarut yang diinginkan untuk maserasi / perlokasi ini
                Sokletasi digunakan pada pelarut organik tertentu. Dengan cara pemanasan sehingga uap yang timbul setelah dingin secara kontinyu akan membasahi sampel, secara teratur pelarut tersebut dimasukan kembali kedalam labu dengan membawa senyawa kimia yang akan di isolasi tersebut.
                Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan secara berurutan pelarut – pelarut organik dengan kepolaran yang semakin meningkat.Dimulai dengan pelarut heksana, eter, petroleum eter atau kloroform. Untuk memisahkan senyawa – senyawa terpenoid dan lipid – lipid, kemudian dilanjutkan alkohol dan etil asetat untuk memisahkan senyawa – senyawa yang lebih polar. Walaupun demikian, cara ini seringkali tidak menghasilkan pemisahan yang sempurna dari senyawa – senyawa yang diekstraksi.
                Cara menghentikan sokletasi adalah dengan menghentikan pemanasan yang sedang berlangsung, sebagai catatan, sampel yang digunakan dalam sokletasi harus dihindarkan  dari sinar matahari langsung. Jika sampai terkena sinar matahari, senyawa dalam sampel akan berfotosintesis sehingga terjadi penguraian atau dekomposisi. Hal ini akan menimbulkan senyawa baru yang  disebut artefak, hingga dikatakan sampel tidak alami lagi.
                 Pengambilan suatu senyawa organik dari suatu bahan alam padat disebut ekstraksi. Jika senyawa organik yang terdapat dalam bahan padat tersebut dalam jumlah kecil, maka teknik isolasi yang digunakan tidak dapat secara maserasi, melainkan dengan teknik lain, dimana pelarut yang digunakan harus selalu dalam keadaan panas sehingga diharapkan dapat mengisolasi senyawa organik itu lebih efisien. Isolasi semacam itu disebut sokletasi.
               Dibandingkan dengan cara terdahulu ( distilasi uap ), maka metode sokletasi ini lebih efisien karena :
·         Pelarut organik dapat menarik senywa organik dalam bahan alam secara berulang – ulang.
·         Waktu yang digunakan lebih efisien
·         Pelarut lebih sedikit dibandingkan dengan metode maserasi atau perlokasi.